Ketika Resident Evil Village dirilis, Capcom bukan hanya melanjutkan kisah horor yang telah menjadi legenda sejak era PS1, tetapi juga menyuntikkan warna baru yang mengejutkan dan mengagumkan. Melanjutkan apa yang telah dibangun oleh Resident Evil 7: Biohazard, game ini tetap mempertahankan perspektif first-person, tapi memperluas skala dunia, karakter, serta intensitas aksinya ke level yang jarang dijelajahi dalam franchise ini.
saya melihat Resident Evil Village sebagai perpaduan sempurna antara atmosfer horor gothic klasik dan ledakan adrenalin dari survival-action modern. Game ini bukan hanya sekadar kelanjutan cerita Ethan Winters, tapi juga bentuk evolusi dari sebuah waralaba yang telah menaklukkan banyak generasi gamer.
Sebuah Dunia yang Kelam dan Penuh Pesona
Berlatar di sebuah desa terpencil yang tidak disebutkan namanya di wilayah Eropa Timur, Resident Evil Village membuka babak baru dalam teror yang lebih luas dan lebih kompleks. Kamu kembali mengendalikan Ethan Winters kingkong 4d, kini sebagai seorang ayah yang baru saja kehilangan putrinya, Rose, karena diculik oleh sekelompok makhluk dan organisasi misterius.
Desa yang kamu masuki adalah sarang kutukan dan kengerian, dihuni oleh berbagai makhluk mitos dan penduduk yang telah kehilangan harapan. Capcom berhasil merancang dunia semi-terbuka yang tidak hanya menyeramkan, tapi juga menyimpan keindahan dan misteri di setiap sudutnya. Hutan bersalju, kastil megah, gua lembab, dan rumah-rumah tua menjadi latar yang bukan hanya indah dilihat, tetapi juga menyimpan banyak teka-teki dan horor yang siap mengoyak mental.
Empat Lord dan Ibu Miranda: Galeri Teror yang Menghipnotis
Salah satu kekuatan utama Resident Evil Village terletak pada galeri antagonis yang begitu mencolok dan tak terlupakan. Capcom memperkenalkan empat “Lord” yang menguasai wilayah berbeda dalam desa, masing-masing dengan gaya, cerita, dan teror yang unik:
- Lady Dimitrescu
Sosok vampir aristokratik dengan tinggi badan menjulang ini langsung menjadi ikon budaya pop sejak trailer pertama. Kastilnya dipenuhi nuansa klasik dan mewah, tapi menyimpan teror yang mengerikan. - Donna Beneviento
Menguasai rumah boneka yang menyeramkan, Donna menghadirkan horor psikologis lewat atmosfer sunyi, teka-teki rumit, dan jumpscare yang tak terduga. Babak ini dianggap sebagai salah satu segmen paling mengerikan dalam sejarah Resident Evil. - Salvatore Moreau
Makhluk cacat dan menjijikkan yang hidup di danau penuh rahasia. Area ini menawarkan horor biologis yang memadukan unsur grotesk dan kasihan, dengan boss fight yang menjijikkan dan tragis. - Karl Heisenberg
Seorang insinyur gila yang memadukan kekuatan magnetik dan teknologi. Wilayah pabriknya mengusung tema sci-fi-horror yang padat dan menegangkan.
Di balik mereka semua berdiri Mother Miranda, sosok penuh misteri yang mengatur semuanya dari balik layar, dengan tujuan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar dominasi dunia.
Aksi dan Atmosfer: Dua Elemen dalam Harmoni
Berbeda dengan RE7 yang lebih menekankan suasana horor perlahan, Village menawarkan perpaduan horor dan aksi dalam takaran yang nyaris sempurna. Momen-momen mencekam yang membuatmu menahan napas akan segera diikuti oleh baku tembak sengit melawan Lycan atau robot mekanik buatan Heisenberg.
Sistem pertarungan diperbaiki dengan upgrade senjata yang lebih kompleks, crafting item, serta mekanik blocking yang kini lebih berguna. Kamu bisa memilih gaya bermainmu: konservatif dengan peluru dan stealth, atau ofensif dan brutal dengan senjata berat.
Keberadaan Duke, si pedagang misterius, juga menjadi fitur penting. Ia bukan sekadar tempat berbelanja senjata dan item, tetapi juga sosok penyegar suasana yang menyajikan keanehan dengan nuansa hangat dan humor tipis.
Visual dan Suara: Kengerian yang Indah dan Imersif
Capcom menggunakan RE Engine milik mereka dengan maksimal di Village. Detail karakter, pencahayaan, tekstur lingkungan, dan ekspresi wajah semuanya sangat halus dan realistis. Game ini berjalan sangat baik di PS5 dan PC dengan ray tracing, 4K resolusi, serta load time super cepat, yang meningkatkan imersi secara drastis.
Tapi visual hanyalah satu bagian dari atmosfer. Sound design game ini adalah salah satu yang terbaik di genre horor. Suara langkah kaki di lantai kayu tua, gemuruh angin di kastil, erangan makhluk, dan musik ambient menciptakan ketegangan alami yang tak memerlukan jumpscare murahan.
Beberapa momen terbaik dari Village justru muncul ketika tidak ada musik, tidak ada dialog, hanya keheningan dan suara napas Ethan yang bergetar. Game ini tahu cara membuat ketegangan muncul dari ketidakpastian.
Cerita Ethan Winters: Dari Ayah Biasa ke Pahlawan Tragis
Ethan mungkin bukan karakter Resident Evil yang paling karismatik, tapi lewat Village, ia diberi kedalaman emosional yang jauh lebih kuat. Pencariannya untuk menyelamatkan putrinya mengungkap rahasia besar tentang identitasnya sendiri, tubuhnya, dan alasan kenapa ia begitu kuat meski berkali-kali terluka parah.
Capcom dengan cerdas menyimpan banyak petunjuk sejak RE7, lalu mengungkapkannya dalam Village, menciptakan momen plot twist yang mengejutkan namun logis. Ending-nya, yang menggabungkan pengorbanan dan harapan, menjadi penutup emosional bagi saga Ethan Winters—yang mungkin tidak semua gamer sadari sejak awal begitu tragis.
Shadows of Rose dan DLC Winters’ Expansion
Tahun berikutnya, Capcom merilis Winters’ Expansion, yang membawa mode third-person untuk seluruh game, dan ekspansi cerita berjudul Shadows of Rose. DLC ini mengisahkan Rose, anak Ethan, 16 tahun setelah peristiwa utama Village.
Rose mencoba menghapus kekuatannya dan masuk ke dunia mimpi dari sisa-sisa Megamycete. Di sini, gameplay berubah jadi lebih lambat dan fokus pada elemen stealth serta puzzle. Meskipun lebih pendek, DLC ini menyajikan penutup yang emosional dan memperlihatkan bagaimana warisan Ethan tetap hidup dalam darah putrinya.
Kombinasi Genre yang Jarang Berhasil
Salah satu hal yang membuat Resident Evil Village begitu spesial adalah keberhasilannya dalam menggabungkan berbagai subgenre horor menjadi satu kesatuan utuh:
- Horor Gotik (Castlevania-style) lewat Dimitrescu.
- Horor psikologis lewat Donna Beneviento.
- Body horror lewat Moreau.
- Tech-horror penuh ledakan lewat Heisenberg.
Semua dibalut dalam sistem gameplay solid dan visual ciamik. Sangat jarang sebuah game mampu mengganti suasana dan gaya sedrastis ini tanpa terasa campur aduk. Tapi Village berhasil.
Kesimpulan: Sebuah Simfoni Horor Modern
Resident Evil Village adalah bukti bahwa Capcom masih menjadi raja dalam genre survival horror. Ia membawa cukup nostalgia dari akar franchise-nya, namun juga berani bereksperimen dengan struktur dan elemen baru.
Dengan dunia yang megah, musuh yang ikonik, sistem pertarungan yang fleksibel, dan cerita yang emosional, Village bukan hanya lanjutan kisah Ethan Winters—ia adalah mahakarya horor aksi yang menyeimbangkan keindahan dan kegilaan.
Bagi para penggemar lama Resident Evil, Village memberi penyegaran. Bagi pendatang baru, ini adalah pintu gerbang sempurna untuk menyelami dunia yang gila dan mengerikan, namun anehnya, menawan.